Jika riwayat hidup kaum arifin dibacakan kepada orang yang beriman, maka imannya kepada Allah akan semakin kokoh.Sebab kehidupan mereka merupakan cerminan dari kitabullah yg di dalamnya terkandung ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang kemudian ( Al Habib Ali Bin Muhammad Alhabsyi ra)
Friday, May 23, 2014
Karomah Kiai Kholil Bangkalan: Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di Daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus terjadi. Kejadian yang memilukan ini membuat petani timun tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah sesama petani, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Khalil.
Sesampainya di rumah kiai, sebagaimana biasanya kiai sedang mengajarkan kitab nahwu. Kitab tersebut bernama Jurmiyah, suatu kitab tata bahasa arab tingkat pemula. "Assalamu'alaikum Kiai, "ucapan para petani serentak. "Waalaikum salam," jawab Kiai Khalil. Melihat banyaknya petani yang datang, kiai bertanya,"Sampean ada keperluan, ya ... ". "Benar, Kiai. Akhir-akhir ini, ladang timun kami selalu dicuri maling. Kami mohon kepada Kiai untuk penangkalnya," kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Saat itu kitab yang dikaji oleh kiai sampai kepada kalimat Qoma Zaidun yang artinya Zaid telah berdiri. Beberapa saat tampak hening. Tibatiba Kiai Khalil berbicara, sambil menunjuk kepada huruf Qoma Zaidun. "Ya karena pengajian ini sampai kepada Qoma Zaidun, ya ..... Qama Zaidun ini saja dipakai sebagai penangkalnya" seru Kiai Khalil dengan tegas dan mantap. "Sudah Kiai ?" ujar para petani sedikit tampak ragu. "Ya .... Sudah," jawab Kiai Kholil menandaskan. Merasa puas dapat penangkal dari kiai Khalil para petanipun pulang ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya, seperti biasa para petani pergi ke sawah. Namun betapa terkejutnya sesampainya petani di ladang masing-masing. Dihadapannya sejumlah maling timun tegak berdiri mematung, mereka terus-menerus berdiri dan tidak dapat duduk. Tak ayal lagi, semua maling timun yang merajalela selama ini dapat diketahui dan ditangkap.
Lama kelamaan, berita tertangkapnya maling yang tidak bisa duduk ini tersebar luas. Sungguhpun pencuri telah tertangkap namun masih tetap berdiri. Beberapa orang berupaya untuk mendudukkan namun sia-sia belaka. Maling timun tetap berdiri dengan muka pucat pasi, sementara orang yang menonton semakin lama-semakin banyak. Merasa kualahan menga tasi, akhirnya para petani memutuskan untuk sowan ke Kiai Khalil lagi. Sama seperti ketika datang pertama kali, setelah berbincang-bincang sejenak Kiai Kholil memberi segelas air penangkal. Setelah para petani mendapat air penangkal segera pamit lalu pulang. Air pernangkal lalu di percikkan kepada maling yang tidak bisa duduk. Sungguh luar biasa, hanya sekali percik sernua pencuri jatuh terduduk lunglai di tanah. Dengan suara iba semua pencuri minta ampun dan mengakui kesalahannya. Mereka berjanji tidak akan mencuri lagi.
Maka sejak kejadian itu, tidak pernah terjadi pencurian timun lagi. Para petani bersyukur karena ladangnya menjadi aman. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai Khalil, para petani sepakat menyerahkan hasil panenan timun ke pesantren. Berdokar-dokar timun mendatangi pesantren. Sejak itu, para santri kebanjiran timun, seluruh pojok pesantren dipenuhi dengan timun.
Sesampainya di rumah kiai, sebagaimana biasanya kiai sedang mengajarkan kitab nahwu. Kitab tersebut bernama Jurmiyah, suatu kitab tata bahasa arab tingkat pemula. "Assalamu'alaikum Kiai, "ucapan para petani serentak. "Waalaikum salam," jawab Kiai Khalil. Melihat banyaknya petani yang datang, kiai bertanya,"Sampean ada keperluan, ya ... ". "Benar, Kiai. Akhir-akhir ini, ladang timun kami selalu dicuri maling. Kami mohon kepada Kiai untuk penangkalnya," kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Saat itu kitab yang dikaji oleh kiai sampai kepada kalimat Qoma Zaidun yang artinya Zaid telah berdiri. Beberapa saat tampak hening. Tibatiba Kiai Khalil berbicara, sambil menunjuk kepada huruf Qoma Zaidun. "Ya karena pengajian ini sampai kepada Qoma Zaidun, ya ..... Qama Zaidun ini saja dipakai sebagai penangkalnya" seru Kiai Khalil dengan tegas dan mantap. "Sudah Kiai ?" ujar para petani sedikit tampak ragu. "Ya .... Sudah," jawab Kiai Kholil menandaskan. Merasa puas dapat penangkal dari kiai Khalil para petanipun pulang ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya, seperti biasa para petani pergi ke sawah. Namun betapa terkejutnya sesampainya petani di ladang masing-masing. Dihadapannya sejumlah maling timun tegak berdiri mematung, mereka terus-menerus berdiri dan tidak dapat duduk. Tak ayal lagi, semua maling timun yang merajalela selama ini dapat diketahui dan ditangkap.
Lama kelamaan, berita tertangkapnya maling yang tidak bisa duduk ini tersebar luas. Sungguhpun pencuri telah tertangkap namun masih tetap berdiri. Beberapa orang berupaya untuk mendudukkan namun sia-sia belaka. Maling timun tetap berdiri dengan muka pucat pasi, sementara orang yang menonton semakin lama-semakin banyak. Merasa kualahan menga tasi, akhirnya para petani memutuskan untuk sowan ke Kiai Khalil lagi. Sama seperti ketika datang pertama kali, setelah berbincang-bincang sejenak Kiai Kholil memberi segelas air penangkal. Setelah para petani mendapat air penangkal segera pamit lalu pulang. Air pernangkal lalu di percikkan kepada maling yang tidak bisa duduk. Sungguh luar biasa, hanya sekali percik sernua pencuri jatuh terduduk lunglai di tanah. Dengan suara iba semua pencuri minta ampun dan mengakui kesalahannya. Mereka berjanji tidak akan mencuri lagi.
Maka sejak kejadian itu, tidak pernah terjadi pencurian timun lagi. Para petani bersyukur karena ladangnya menjadi aman. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai Khalil, para petani sepakat menyerahkan hasil panenan timun ke pesantren. Berdokar-dokar timun mendatangi pesantren. Sejak itu, para santri kebanjiran timun, seluruh pojok pesantren dipenuhi dengan timun.
Wallahu`alam
KETIKA TELINGA KITA BERDENGING
Siapakah yang pernah mengalami berdengungnya telinga?
Berbahagialah bila kita pernah mengalaminya ,kenapa karena sayyidina Muhammad shalallahu alaihi wasallam telah bersabda :
“ jika berdenging telinga kalian, hendaknya ia ingat padaku, lalu bershalawat padaku, dan berdoa : wahai Allah jadikanlah orang yg mengingatku itu dg kebaikan
(Al Adzkar oleh Hujjatul Islam Al Imam Nawawi)
Didoakan oleh Sayyidina Muhammad shalallahu alaihi wasallam dengan do`a yang agung : “Wahai Allah jadikanlah orang yang mengingatku itu dengan kebaikan”.
Al Imam Nawawi rhm berkata :”Sesungguhnya jika telinga berdengung datang berita baik ke ruh.
Dan sayyidina Muhammad shalallahu alaihi wasallam telah menyebutkan orang yang telinganya berdengung dengan kebaikan-kebaikan di sebuah majlis yang agung di alam ruh.
Jika sayyidina Muhammad shalallahu alaihi wasallam menyebutkan kebaikan orang tersebut menunjukkan bahwa orang tersebut masuk dalam golongan orang baik (min ahlilkhair)
Lalu apa balasannya bila anugerah Allah yang sangat luhur ini kita dapatkan?
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menginginkan pemilik telinga berdengung tersebut untuk mengingat beliau, bersholawat kepada beliau shalallahu alaihi wasallam.
kok Rasulullah shalallahu alaihi wasallam meminta imbalan? Tidak , sholawat kepada beliau kembali kepada si pemilik telinga berdengung, Allah limpahkan anugerah yang besar.
Itulah jiwa sayyidina muhammad shalallahu alaihi wasallam sangat menginginkan agar umatnya dekat dengan Allah Jalla jalaluh .
Tanpa si pemilik telinga berdengung mengingat dan bersholawat pun, sayyidina muhammad shalallahu alaihi wasallam tetap Agung dan tertinggi derajatnya di sisi Allah
Wallahu`alam
ANJING HITAM & WALI AGUNG
Syahdan, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di sekitarnya memanggilnya Kiai Yazid, lengkapnya Kiai Abu Yazid Thoyfur bin ‘Isa al-Bustami dari Bustham, daerah Bagian Timur Laut Persia. Salah satu fragmen hidup beliau di bawah ini setidaknya bisa sekilas menjadi renungan pengasah ketawadhu’an bagi kita.
Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja. Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. Eh1? Ternyata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat itu Kiai Yazid –secara reflek dan spontan– segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena -barangkali– merasa khawatir: jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu!
Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di dekatnya tadi memprotes:
“Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!”
Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong: benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: “Seandainya tubuhku basah, engkau cukup mencucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!”
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya, Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.
“Ya, engkau benar Anjing Hitam,” kata Kiai Yazid, “Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!”
Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.
“Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para sufi. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!” kata Si Anjing Hitam dengan tenang.
Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Sang Kiai.
“Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!” seru Kiai Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu.
Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang menunggu pengajarannya.
Di hari lain, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah Si Anjing Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih jelek dari Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat tergesa-gesa –barangkali karena ada urusan penting– maka Kiai Yazid segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning itu.
“Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa,” kata Kiai Yazid kepada para muridnya.
Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing Kuning.
Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!”
Kiai Yazid menjawab: “Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para kaum sufi?” Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya.”
Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Tidak ada yang membantah dan terus meneruskan perjalanannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)